sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,
 
oleh Nani S. Karyono pada 28 Februari 2010 jam 12:12

Selamat siang, Tika Januarti…. 

Hujan baru saja reda. 

Bekasnya belum mengering. Masih menggenangi pekaranganku, membuat becek, dan noda. Ah, baiknya kubiarkan saja. Aku tak berniat membuatnya kering seketika. Aku percaya, seiring waktu dan tatapan matahari, basah perlahan akan menguap, alami, dengan sendirinya. 

Kau tahu, musim penghujan terkadang membuat kita jadi serba salah. Hujan yang terlalu lama dan deras, menahan kita tuk bepergian, terkungkung, hanya diam di tempat. Lalu tanpa disadari, kita merindukan musim kemarau. Padahal sama saja, ketika akhirnya datang, musim kemarau membuat tubuh menjadi kering, kusam, dan haus. Terkadang membuat kepala pening juga. Terlebih kemarau yang teramat panjang, membuat suntuk. 

Saat hujan seperti ini, aku rindu dirimu. 

Sangat. Terutama pada sejumlah kenangan yang kita lalui bersama di saat hujan. Seringkali karena malas membawa, kau pinjami aku payung. “Nih, makanya bawa payung, jadi gak keujanan.” Begitu katamu, bernada marah yang tak serius. Aku cukup membalasnya dengan tersenyum, tak apalah dimarahi, toh payungmu tetap kupinjam juga. Biasanya karena telah larut dan aku harus pulang. Payungmu, -yang bergambar bunga sakura itu- memang telah beberapa kali menyelamatkanku dari derasnya hujan. Setidaknya, tak terlalu kuyup. Payung yang memang selalu ada dalam tasmu, tak perduli akan hujan atau terik. Hingga akhirnya, di kemudian hari, memori tentang payung acapkali menyadarkanku untuk tak usah pergi jika tak bawa payung. Ya, dirimu dan payung itu…makin kukenang. 

Pekaranganku belum lagi kering benar, malah sepertinya akan hujan lagi. Duh, Bisa apa aku menolak musim? Sungguhpun guyuran hujan membuatku jemu, kuyup, lelah dan terpancang. 

Aku ingat. Serupa dulu ketika kuterjebak di ujung gang. Berdiri tercenung, meneduh di emper warung rokok Pak Nana. Alangkah menjemukan, menunggu hujan reda yang entah sampai kapan. Ada beberapa orang waktu itu, semuanya lelaki. Sebagian melewatkan dingin dengan mengisap rokoknya dalam-dalam. Lainnya bersidekap dengan pandangan yang menerawang, entah memikirkan apa. Masing-masing sibuk dengan aktivitasnya. Pak Nana sendiripun sembunyi saja di dalam warungnya sambil mengisi teka teki silang. Kelihatannya Sedang malas untuk bekomunikasi. Tak usah kusebutkan bahwa waktu itu aku amat kedinginan. 

Lalu tiba-tiba sang penyelamat itu datang. Kau menjemputku, dengan payung itu. Entah, mungkin ilmu telepati atau kemistri atau apa namanya. Acapkali, ketika wajahmu melintas dalam pikiranku, aku amat meyakini terjadi juga hal yang sebaliknya (Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, ketika aku ingat dirimu, maka henpon ku akan bergetar, lalu muncul namamu dalam layar). “Berani- beraninya pergi gak bawa payung!”. Begitu katamu memarahiku. Selanjutnya, kalimat-kalimat lain berhamburan sepanjang gang yang kita lewati hingga menuju rumahmu. Ha..ha..ha..saat itu suaramu terdengar lebih mirip bunyi radio yang batrenya hampir habis dengan lagu yang itu-itu saja, kadang keras kadang tak terdengar. Entah apalagi yang kau ucapkan saat itu, aku sudah lupa. Seperti biasanya, aku tak perduli. Pikiranku telah terlebih dahulu dipenuhi bayangan kasurmu yang menggeletak di lantai, hangatnya selimut tebal, dan camilan yang selalu ada di mejamu bersama setumpuk novel kesukaanmu. Dan tentu saja yang amat kurindukan hingga kini adalah secangkir kopi susu hangat yang kemudian kita nikmati bersama, secangkir berdua… 

Hujan dan payungmu yang bergambar bunga sakura. 

Kemarin sengaja aku melintas di warung rokok Pak Nana. Di ujung gang bekas rumah lamamu. Kuamati warungnya, empernya, masih seperti yang dulu, tak ada yang berubah. Aku berdiri sejenak, menikmati, untuk mengenang saat-saat indah itu. Betapa meluapnya kegembiraanku tatkala kuberpayung denganmu, menembus, melabrak hujan yang deras. Guyuran air hujan membasahi ujung celana panjangku, lengan kemejaku, sandal kita, juga rokmu yang berwarna ungu. Sepertinya, saat itu aku bahkan diam-diam berterima kasih telah hujan. Amat kunikmati suasana hujan, begitu mengasyikan….Tapi sudahlah, aku tak berani berlama-lama. Harus segera pergi karena betapapun lamanya aku berdiri di sana kau bahkan tak kan sempat menjemputku.. 

Masih hujan dan payung. 

Yang satu membuat basah, satunya lagi untuk melindungi agar tak basah. Nampaknya bertentangan, tapi berpasangan. Selalu ada dalam kesempatan yang sama. “Sedia payung sebelum hujan”, begitu bunyi ungkapannya. Ah, kulihat dimana ya tulisan itu? Di buku-buku SD, di toko barang kelontong, tertera pada stiker, di…ah, di banyak tempat barangkali. Tapi yang jelas, tulisan itu bersemayam dalam hatiku sejak aku selalu bersamamu. 

Bicara soal berpasangan, kita memang bukan pasangan. Dan kita tak pernah mengakui menjadi pasangan, begitu katamu. Dalam beberapa hal kita memang jauh berbeda. Tapi sekalipun begitu, kita tak berniat untuk membuatnya menjadi seragam, bukan?. Aku menghargaimu jika tetap fanatik dengan warna ungu. Sungguhpun dalam keyakinanku warna ungu melambangkan keangkuhan, dingin dan sulit diajak berkomunikasi. Aku tak pernah keberatan jika kau memutar musik klasik di kamarmu. Musik yang monoton jika diputar terus menerus, kataku. Kau juga bilang menyukai film horror. Sungguh selera yang aneh untuk gadis secantik dan selembut dirimu. Tapi apapun, bagiku setiap pribadi berhak untuk memiliki perbedaan dengan diriku. Betapapun, hingga akhirnya kita menyadari barangkali hal-hal demikian yang membuat kita tetap bersama, kau adalah dirimu, dan aku adalah diriku, tanpa memperuncing sejumlah perbedaan. 

Begitu sibuknyakah engkau? Selamat menuai hari yang selalu sibuk, Say.. 

Ketika menelepon, kau katakan harimu begitu padat. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan, sejak fajar hingga larut. Memang, dengan begitu banyak status sosial yang kau sandang, tentulah amat sibuk, tak punya banyak waktu, bahkan untuk melihat album foto kita sekalipun. Kau juga mengatakan sedang bekerja keras untuk mengejar impianmu, sesuatu yang amat kau idamkan sejak dulu. Sebuah cita-cita yang aku meyakininya akan dicapai olehmu, suatu saat, mungkin tak berapa lama lagi. 
“Tak usah dipikirkan, hanya untuk kau pahami,” begitu ucapmu suatu ketika. Sebuah ungkapan yang mengandung ribuan makna, bagiku. Bagaimana mungkin aku tak berusaha memahamimu. Sejak dulu, sungguh, aku sangat memahamimu. Tanpa kau minta, selamanya, sampai kapanpun. Tapi pemahaman tak bisa muncul begitu saja tanpa sebuah penjelasan, sanggahku. Aku berharap kau mengijijkanku mengintip dari lubang kecil di jendelamu untuk mensyukuri sejumlah kesibukan yang tengah membuatmu bahagia. Menurutku cukup adil karena aku tak mengganggu aktivitasmu, bukan? 

Sekali lagi, aku berupaya memahamimu. Karenanya, meski sangat ingin berbagi, aku tak kan membebanimu dengan menceritakan betapa derasnya hujan mengguyur pekaranganku. Bahkan, telah melongsorkan beberapa bukit di sebelah sana… 

Hujan baru saja reda, tapi tidak dengan rasa dinginnya… 

Hujan selalu menyisakan hawa dingin. Alami bukan? Di puncak bukit, di ketinggian yang dikelilingi pepohonon dengan sisa air hujan yang masih menggelayut diantara ranting dan daun-daunnya: dapat kau bayangkan, aku berada di sana! 

Sedianya, hati kecilku ingin meneleponmu. Tapi kabarnya, sinyal di tempatmu tak begitu baik. Sinyal yang tak stabil selalu menghasilkan jawaban sms yang permanen: “Iya, terima kasih”. Ah, sinyal yang menyebalkan! 

Oleh karenanya, dengan berat hati, hanya bisa kukabarkan padamu: dari jendela kamarku, langit Lembang berwarna abu pucat. Arak-arakan mobil lalu lalang yang pergi dan pulang dari jantung kota Lembang. Kota yang menawarkan romantisme karena kesejukannya, kata sebagian orang. Sembari menatap panorama Bandung, dan genting-genting rumah yang nampak dari sini: Selamat siang, Say... Sedang apa disana? 

Langit Lembang, februari 2010 

“Kau dengan dirimu saja, kau dengan duniamu saja.., teruskanlah…’ 
dari AGNES MONICA: teruskanlah.. 


sajak, sastra, puisi, poetry, poem, writing, menulis, cerpen, novel, diksi,